Perjuangan Syekh Imran Hosein Merintis Ilmu Akhir Zaman

Syekh Imran Hosein
Syekh Imran Hosein
“Dengan metodologi mempelajari Alquran yang tepat, kita akan menemukan dalam Alquran penjelasan tentang apa yang terjadi di dunia.” (Syekh Imran, 2021).
Ketika diterima bekerja di Kementerian Luar Negeri Trinidad & Tobago, usianya menginjak 29 tahun, jauh di atas rata-rata pegawai seangkatannya yang berusia 21-22 tahun.
Kementerian lalu memberinya beasiswa untuk kembali ke Universitas dan belajar Hubungan Internasional.
Sewaktu menjadi mahasiswa Institut Hubungan Internasional di Universitas Hindia Barat, Perdana Menteri Trinidad & Tobago ketika itu adalah Dr. Eric Williams, seorang yang anti-imperialis yang tidak ingin Trinidad & Tobago menjadi budak Amerika Serikat.
Jadi dia beralih ke Swiss yang merupakan negara netral, dan meminta Pemerintah Swiss yang memiliki Lembaga Pascasarjana dalam Studi Internasional di Genewa, sebuah lembaga tertua dan paling terkenal di Eropa, agar mendirikan cabang di Trinidad.
Setelah keluar persetujuan dari Pemerintah Swiss, Institut ini berada di bawah kepemimpinan lokal, dan Pemerintah Trinidad memilih Dr. Leslie Manegat sebagai Direktur. Dia berasal dari Haiti. Tidak ada bagian lain dari Karibia yang melawan penindas lebih dari Haiti, yang telah mengalahkan Prancis dan mendirikan Republik Kulit Hitam independen.
Dr. Leslie adalah guru yang luar biasa, memiliki gelar Ph.D, dan mengajar sejarah politik dunia, sejarah peradaban barat modern, imperialisme politik dan imperialisme ekonomi. Semuanya merupakan subjek baru, dan karena itu merupakan salah satu pengalaman yang paling menarik dalam hidupnya.
Selama satu tahun di Institut Studi Islam Internasional di Trinidad, telah memperkokoh bangunan fondasi keilmuannya, selain dari wawasan Alquran yang diperoleh sebelumnya dari gurunya Maulana Muhammad Fazlur Rahman Ansari.
Institut ini adalah Program Pascasarjana selama satu tahun, dimana para mahasiswanya berasal dari Inggris, Kanada, Amerika, Prancis dan Eropa lainnya. Mereka memandang rendah orang dengan gelar dari Pakistan, karena mereka berasal dari berbagai Universitas terkemuka.
Maka ketika mereka mendengar bahwa ada mahasiswa dengan profil Sarjana dari Pakistan, mereka heran, apa yang bisa dilakukan seorang ulama di tempat pelatihan para diplomat.
Tetapi ketika kelas dimulai, mereka mendapat kejutan, karena Syekh Imran menyapa mereka dengan pendekatan yang mereka tidak miliki, yaitu pelatihan dari Alquran yang diperoleh sebelumnya dari gurunya, yang telah memberinya kapasitas berfikir untuk menemukan dari Alquran subjek-subjek yang bisa menjelaskan dunia modern.
Dengan itulah, maka pada akhir tahun Syekh Imran berhasil meraih peringkat pertama di kelasnya. Padahal sebelumnya dia ‘hanya’ belajar Filsafat di Universitas Karachi, serta Studi Islam bersama gurunya Maulana Ansari. Tetapi tidak pernah belajar Ekonomi Internasional, Ekonomi Moneter Internasional, Politik Internasional, Hubungan Internasional, dan belum pernah belajar diplomasi sebelumnya.
Namun karena memiliki pelatihan dalam Alquran, itulah yang telah membuatnya berbeda, sehingga bisa meraih peringkat pertama di kelasnya.
Buku Jerusalem dalam al-qur`an karangan Syekh Imran Hosein
Syekh Imran kemudian mendapat beasiswa lebih lanjut untuk mengambil Ph.D pada Institut Pascasarjana di Genewa, Swiss.
Berdasarkan fondasi bangunan keilmuan dalam kajian Alquran dan Studi Islam yang diwarisinya dari Maulana Muhammad Iqbal, melalui gurunya Maulana Muhammad Fazlur Rahman Ansari, ditambah dengan _basic_ Filsafat yang diperolehnya dari Universitas Karachi, lalu dilengkapi dengan Kajian Internasional (politik, ekonomi, ekonomi moneter, diplomasi dan hubungan internasional) yang diperolehnya dari Trinidad dan Genewa, telah membuatnya menjadi mungkin untuk akhirnya merintis Ilmu Akhir Zaman atau Eskatologi Islam.
Inilah poin terpenting dari deskripsi biografi Syekh Imran. (https://m.youtube.com/watch?v=M8L0yxVoJ0c).
(Tentang latar belakang keluarganya, lihat: https://m.youtube.com/watch?v=aiIT9Zj_FxE;
Tentang perjalanannya dalam menuntut ilmu, lihat: https://m.youtube.com/watch?v=e11xgZWJUTk).
Mendapat beasiswa dari pemerintah Swiss, dan pemerintah Trinidad & Tobago tetap membayar gajinya, sehingga selama berada di Swiss dia tidak memiliki masalah keuangan.
Tahun-tahun yang dihabiskannya di Geneva adalah tahun-tahun yang menyenangkan, karena Geneva dan Swiss adalah kota dan negara yang indah.
Namun selama lima tahun di Geneva tidak menarik baginya, karena dia tidak menemukan guru yang menggairahkan.
Kelas ini berjumlah sekitar 30 atau 40 orang. Mereka berasal dari negara-negara Eropa: Finlandia, Cekoslowakia, Swedia, Perancis dan dari seluruh Eropa. Sisanya berasal dari Kanada dari Amerika Serikat. Hanya dua orang dari Trinidad dan seorang gadis, putri seorang diplomat India.
Institut ini adalah Institut Eropa yang kuat berada dalam cengkeraman zionis. Karena itu Kelas Ekonomi Internasional dipegang seorang Profesor zionis.
Dengan berbekal pelatihan di bidang Ekonomi Internasional di Trinidad dan pengalamannya dalam Studi Alquran yang diperoleh sebelumnya dari gurunya, dia selalu menantang Profesornya setiap hari, sampai akhirnya Profesor ini tidak bisa menerima tantangannya. Ia sangat terguncang dan terancam.
Akhirnya Profesor itu memanggilnya suatu hari, dan berkata: “Mr. Hosein, Anda tidak harus menghadiri kelas saya. Tugas Anda hanya menulis untuk ujian di akhir tahun.”
Ini berarti Profesor itu tidak ingin dia ada di kelasnya. Jadi Syekh Imran berhenti menghadiri kelasnya. Dia mengetahui bahwa apa yang mereka ajarkan adalah palsu.
Berbeda dengan mahasiswa lainnya yang belajar untuk mengambil gelar Ph.D yang menerima semuanya, dan tidak pernah menggunakan kapasitas berfikir kritis untuk memeriksa apa yang diajarkan kepada mereka.
Itu yang terjadi di Harvard, Yale, MIT dan seterusnya.
Karena dia menemukan bahwa teori ekonomi yang diajarkan itu palsu, yang membuat Profesornya terguncang, maka dia dikeluarkan dari kelas.
Namun ketika datang saat ujian di akhir tahun, dia lulus, dan bangga dengan itu.
Setelah ini, dia harus menulis garis besar untuk Tesisnya, harus memberikan daftar pustaka, dan kemudian mengikuti ujian. Dari semua 30 atau 40 mahasiswa tahun itu, dia adalah yang pertama melakukannya.
Dalam wawancara oleh sebuah panel, akhirnya ia memperoleh izin untuk melanjutkan penulisan Tesisnya.
Tetapi dia membuat pilihan topik yang “salah”. Topik yang dipilihnya, mengharuskannya memiliki pengetahuan Eskatologi Islam. Sementara, pada tahun 1975, tidak ada seorang pun Sarjana di dunia yang bisa mengajarkan Eskatologi Islam.
Salah satu bagian dari topik yang menganalisis masa lalu, masih valid. Tapi bagian yang memproyeksikan ke masa depan sama sekali masih belum ada. Jadi dia harus meraba-raba dalam ranah kajian yang sama sekali baru.
Karena itu, ketika saatnya tiba untuk meninggalkan Geneva, dia masih belum bisa menyelesaikan Tesisnya.
Namun dia bersyukur kepada Allah seratus ribu kali, karena jika menyelesaikannya, semuanya akan menjadi salah. (https://m.youtube.com/watch?v=M8L0yxVoJ0c)
Syekh Imran tidak menyesal dan bersyukur tidak menyelesaikan Ph.D-nya di Swiss dalam Hubungan Internasional, karena bila dia menyelesaikannya waktu itu, semuanya akan menjadi salah.
Statement ini merupakan bagian penting kedua dari deskripsi biografinya.
Pertama, karena pada tahun 1975, belum ada seorang Sarjana pun di dunia yang bisa mengajarkan Eskatologi Islam, sehingga dia harus puas dengan mengikuti khazanah dan standar keilmuan yang berlaku pada Institusinya.
Kedua, fakta bahwa Profesornya tidak menginginkan dia mengikuti kelasnya, menunjukkan bahwa dia tidak mungkin menyelesaikan Tesisnya (Disertasinya), tanpa mengikuti standar keilmuan yang berlaku pada Institusinya.
Ketiga, dengan mengikuti standar keilmuan dalam Institusinya, tidak mungkin baginya untuk merintis Eskatologi Islam.
Hal ini karena ranah Eskatologi Islam sebagiannya berada dalam wilayah yang dalam paradigma epistemologi keilmuan barat, sudah divonis sebagai “sain palsu” atau pseudo-science, sehingga tidak mungkin bisa lolos dalam seleksi ujian akhir.
Terbukti kemudian, Syekh Imran membutuhkan waktu hampir 29 tahun setelah itu, untuk menemukan grand theori-nya dalam Eskatologi Islam, yaitu dalam buku Masterpiece-nya yang berjudul “Jerussalem in The Qur’an”, yang baru bisa diselesaikannya pada tahun 2003.
Sejak diterbitkannya, buku ini masih merupakan _best-seller_ sampai hari ini. Sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Dalam Bahasa Indonesia berjudul “Jerussalem dalam Al-qur’an”.
Adalah Dr. Karem Shiddiqi, kakak Syekh Imran, seorang ilmuwan politik Pakistan, Presiden Institut Muslim untuk Penelitian dan Perencanaan di London, yang pada tahun 1976 telah mempesona dunia dengan menyelenggarakan Konferensi Islam Internasional di London. Kesempatan ini membawa Syekh Imran pergi dari Geneva untuk menghadiri Konferensi di London ini.
Di sela-sela Konferensi inilah Dr. Karem menyampaikan kepada Syekh Imran: “Anda memiliki pelatihan yang saya tidak miliki, dan saya memberi Anda tugas ini. Anda harus menulis tentang Jerusalem dalam Alquran, untuk menunjukkan peran sentral yang dimainkan Jerusalem di akhir zaman.”
Lima tahun di Genewa, adalah saat-saat yang membosankan, karena dia tidak diizinkan untuk menulis dan berbicara di depan umum. Demikian juga selama bekerja di Kementerian Luar Negeri Trinidad, dia tidak memiliki kebebasan.
Jadi setelah lima tahun bekerja sebagai diplomat, dia membuat Surat Pengunduran diri, tepat setelah Maulana Ansari meninggal, lalu menikah dengan putri gurunya itu di Karachi.
Ibu mertuanya tidak setuju anak mantunya melepaskan karir diplomat, demikian juga istri dan saudara-saudaranya. Mereka tidak setuju Syekh Imran melepas pekerjaan diplomat untuk menjadi seorang Mullah.
Namun ia tidak mendengarkan siapa pun. Pada hari melepas jabatan itu, dia dipanggil Menteri yang mempertanyakan mengapa mengambil keputusan itu.
Akhirnya dia kembali ke Pakistan, dan memperkenalkan diri ke Institut Studi Islam Alimia untuk mengajar.
Setelah Maulana Ansari meninggal, mereka telah mengubah Institut Alimia yang semula merupakan institusi non-sektarian menjadi sektarian.
Pada bulan Juni atau Juli, Kepala Sekolahnya mengundurkan diri. Mereka tidak punya pilihan lain, kecuali menawarkan jabatan itu kepadanya.
Pada hari pertama dia berbicara di hadapan semua direktur dan semua orang, kalimat pertama yang diucapkan Syekh Imran adalah:
“Ini bukan Institut sektarian.” Dengan itu dia ingin mengembalikan jati diri Institut yang kini dipimpinnya.
Karena konflik internal makin meruncing, akhirnya dia pergi ke Amerika Serikat. Tidak lama kemudian, menjadi Direktur Studi Islam untuk Komite Gabungan Organisasi Muslim New York, dimana 16 Organisasi Islam digabungkan, salah satunya adalah Komunitas Masyarakat Islam dari Perserikatan Bangsa-bangsa.
Selama 10 tahun di New York itu, dia memperoleh pengalaman berharga dalam memahami realitas dunia. New York adalah kota yang dikendalikan oleh Yahudi.
Ketika memperoleh kesempatan mengajar di beberapa bagian Kota New York, dia bisa mempelajari dunia dari New York. Dari sinilah mulai ditemukan struktur Jerusalem dalam Alquran, sebagai kerangka dasar bagi Eskatologi Islam.
Pada tahun 1998-1999, struktur buku “Jerusalem dalam Alquran” mulai terbentuk, dimana di dalamnya terdapat subjek Dajjal serta Yakjuz & Makjuz; sebuah terobosan sudah tercapai.
Ketika Dr. Israr Ahmed berkunjung ke New York, dimana sebelumnya ketika menjadi Kepala Sekolah di Pakistan, dia sudah sering bertemu, dan sering mengundangnya ke rumahnya. Maka ketika sudah kembali ke Lahore, Dr. Israr mengundangnya untuk berkunjung ke Pakistan.
Ketika berkunjung ke Pakistan pada tahun 1996, Syekh Imran sangat mengagumi kedisiplinan Tanzem Islami, organisasi yang dipimpin Dr. Israr. Kedisiplinan yang diterapkan institusi ini, antara lain karena fondasi yang dibangun oleh Maulana Abul A’la Al-Maududi. Syekh Imran lalu memutuskan untuk bergabung dengan organisasi ini.
Setelah bergabung, Dr. Israr mempromosikan posisinya. Lalu ia berkata: “Saya ingin Anda menjadi Amir organisasi ini di seluruh Amerika Utara.”
Tetapi pada tahun 1998-1999 mulai muncul masalah, karena pandangannya tentang Dajjal dan Yakjuz & Makjuz dalam kerangka “Jerusalem dalam Alquran”, bertentangan dengannya, sebuah perbedaan yang disebabkan karena Dr. Israr tidak memiliki metodologi yang dimiliki Syekh Imran.
Sejak itu mereka berpisah.
Suatu hari Dr. Israr menelpun dan memerintahkan Syekh Imran agar tidak menulis dan berbicara apa pun dalam subjek Dajjal dan Yakjuz & Makjuz.
Sejak menerima perintah itu, ia langsung menolaknya. “Tidak ada manusia yang memiliki otoritas atas manusia lain di dunia pengetahuan. Anda boleh berbeda dengan saya, tetapi Anda tidak bisa menghentikan saya”, ujarnya.
Meskipun akhirnya keluar dari Tanzem, Syekh Imran sangat menghormati integritas dan dedikasi Dr. Israr.
Setelah itulah, Syekh Imran baru dapat menerbitkan “Jerusalem dalam Alquran” pada tahun 2001 (versi bahasa Indonesia tahun 2003).
Terbitnya buku ini adalah jawaban atas permintaan Dr. Karim Shiddiqi 29 tahun yang lalu.
Mungkin karena terbit dalam atmosfir pasca peristiwa 9/11, buku itu langsung menjadi best-seller, sampai saat ini, karena mereka ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Hasil survey hari ini terhadap tiga toko online yang menjual buku “Yerusalem dalam Al-Qur’an”:
Shopee: harga Rp. 85.000. Stok buku = 0;
Bukalapak: harga Rp. 80.000. Stok buku = 0;
Versi Bahasa Inggris dengan harga Rp. 45.000. Stok buku = 0;
Tokopedia: harga Rp. 147.000. Masih tersedia.
Jadi permintaan atas buku ini memang tinggi, sehingga harganya semakin naik. Menunjukkan, buku ini masih best-seller sampai hari ini.
Tersedia juga buku-buku Syekh Imran lainnya dalam versi e-book, dapat diakses secara bebas pada tautan ini: https://islamicpro.my.id/e-book-imran-hosein-indonesia-2/
Sayangnya, sebagian besar Ulama dan Sarjana di dunia Islam belum mampu menunjukkan kedewasaannya. Sementara mereka tidak memiliki keberanian untuk menyangkal kebenaran yang ada dalam buku itu, namun juga mereka tidak mau menerimanya.
Hal ini disebabkan karena mereka telah terjebak dalam dinding beton metodologi yang dianutnya. Dalam posisi inilah saat ini kita berada (https://m.youtube.com/watch?v=M8L0yxVoJ0c).
Refleksi
Kalimat dalam paragraf terakhir merupakan poin penting ketiga dari deskripsi biografi Syekh Imran.
Bila perbedaan antara Syekh Imran dengan Dr. Israr disebabkan karena perbedaan metodologi, dan bila Eskatologi Islam berbasis Metodologi Pembacaan Alquran dan Metodologi Mempelajari Alquran yang dimodelkan oleh Syekh Imran, maka masa depan Eskatologi Islam akan paralel dan berbanding lurus dengan tingkat literasi atas Metodologi Membaca dan Mempelajari Alquran.
Membaca Alquran dengan metodologi yang tepat akan mempertajam kapasitas berfikir intuitif. Sedangkan mempelajari Alquran dengan metodologi yang tepat akan mempertajam kapasitas berfikir rasional.
Kapasitas berfikir yang mengintegrasikan fikiran rasional dan intuitif inilah yang disebut Epistemologi Majma’ al-Bahrain.
Dengan demikian, masalahnya memang terletak pada metodologi.
Untuk tujuan itulah, Syekh Imran juga telah menyelesaikan dua buku dalam subjek metodologi:
Pertama, berjudul “Alquran dan Bulan, Metodologi Pembacaan Alquran” (https://youtu.be/31i9e04deLg)
Kedua, “Alquran dan Bintang, Metodologi Mempelajari Alquran.”(https://youtu.be/OjZ1uQs9Ly4)
Dengan model Epistemologi inilah kita dapat melepaskan diri dan menembus jebakan dinding beton metodologi.
Setelah Tragedi 9/11
Sejak terbitnya buku “Jerusalem dalam Al Quran”, profil Syekh Imran terus meningkat di Amerika Serikat. Tetapi segera setelah 9/11 terjadi, dia harus pergi dari Amerika.
Ditemani dua orang mahasiswanya asal Afrika-Amerika ia berangkat ke bandara untuk terbang ke Kuala Lumpur melalui Jepang, dan kemudian ke Afrika Selatan, dalam tur kuliah yang telah diatur sebelumnya.
Ketika peristiwa 9/11/01 itu, Syekh Imran masih berada di New York. Pagi saat peristiwa itu, dia harus pergi ke bandara Kennedy, untuk menjemput mantan istrinya, yaitu putri Maulana Ansari, yang tiba dari Pakistan. Sementara putrinya sedang bersamanya di New York. Mantan istri dan putrinya harusnya melanjutkan penerbangan ke Texas. Namun tertunda seminggu karena harus menunggu sampai penerbangan kembali normal.
Saat datang di bandara Kennedy, ada pengumuman bahwa semua penerbangan ditutup, tetapi bandara masih buka. Baru ketika sedang berada di ruang tunggu, sambil merenungkan apa yang terjadi, datang pengumuman bahwa bandara sekarang ditutup.
(Peristiwa 11/11/01 terjadi pada jam 08:46-10:28 waktu setempat).
Beberapa hari setelah peristiwa 9/11, Syekh Imran memberikan kuliah umum di sebuah Masjid Pusat Islam di New York. Tempat itu penuh sesak, karena semua orang ingin tahu apa yang akan dikatakannya.
Di ujung kuliahnya, dia mengatakan akan mengangkat tangan untuk berdoa, dan ingin agar semua yang hadir untuk bergabung dalam doa itu. Isi doanya, memohon kepada Allah agar menghukum dengan hukuman yang paling berat dan selamanya terhadap mereka yang melakukan tindakan 9/11, serta mereka yang merencanakannya.
Ketika selesai dengan doanya, dia mengatakan: “Sekarang saya mau berbicara kepada orang-orang Yahudi, maukah Anda membuat doa yang sama?”
New York tahu bahwa Syekh Imran tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dalam beberapa jam setelah 9/11, dia tahu bahwa ini adalah bendera palsu. Itu sebabnya mengapa dia berdoa demikian. Sejak itu, New York menutup pintu baginya.
Lalu terbang ke Afrika Selatan. Ketika berada di Afrika Selatan itu, Amerika Serikat menyerang Afghanistan. Sejak itu Syekh Imran memutuskan tidak akan kembali ke New York.
Sebelum meninggalkan New York, tepat setelah 25 tahun Maulana Ansari meninggal, dia mulai menulis buku seri peringatan gurunya itu, dan berhasil menyelesaikan enam seri buku. Lalu dikirim untuk dicetak di Afrika Selatan, agar ketika tiba di Afrika Selatan, buku-bukunya itu sudah dicetak.
Selama enam minggu keliling memberikan kuliah di Afrika Selatan, berhasil memperoleh hasil penjualan bukunya sebanyak 20.000 dollar. Jumlah yang sangat besar, belum pernah terjadi sebelumnya dia bisa melihat uang sebanyak itu. Hal ini karena banyak sekali orang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan peristiwa 9/11.
Selama dua tahun berikutnya, Syekh Imran terus berkeliling dunia untuk memberikan kuliah, sampai kembali ke Trinidad pada tahun 2003.
Anugerah terbesar dalam hidupnya adalah apa yang didapatkan dari gurunya, Mawlana Ansari, berupa metodologi untuk Studi Alquran. Dengan metodologi itulah dia mampu menulis “Jerusalem dalam Alquran”. Sejak itu, profilnya terus menanjak, dan saat ini sudah menulis sekitar 30 buku khusus dalam seri peringatan Maulana Ansari.
Pada saat ini ketika usianya mencapai hampir 80 tahun dalam hitungan Matahari atau hampir 82 tahun dalam hitungan Bulan, telah mengalami perjalanan yang luar biasa dalam kehidupannya.
Dr. Mahathir Muhammad termasuk yang menyukai profilnya, sehingga memberinya tempat tinggal permanen di Malaysia.
Selama beberapa tahun bersama Dr. Mahathir memperoleh pengalaman yang luar biasa, karena ia memiliki profil keberanian untuk menyerang orang-orang Yahudi, bahkan dengan menyebut nama; sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh pemimpin muslim lain.
Dalam suatu konfrensi khusus, Dr. Mahathir mengatakan bahwa orang-orang Yahudi selalu membuat orang lain berperang untuk mereka. Mereka juga yang bertanggung jawab atas peristiwa 9/11.
Karena Indonesia hanya bersebelahan dengan Malaysia, sehingga ia dapat mengunjungi Indonesia secara teratur. Karena itu, ia memiliki banyak pengikut di Indonesia. Sekarang jumlahnya bahkan jauh lebih besar di Indonesia daripada di Malaysia.
Sebuah perjalanan yang panjang, yang dengannya dia sangat bersyukur karena Allah telah mengizinkannya untuk melakukan perjalanan dan berjalan di jalan ini, sampai akhirnya dapat memelopori Eskatologi Islam.
Untuk menyelesaikan buku ini, dia telah bepergian secara ekstensif ke banyak sekali negara. Buku itu pula yang akhirnya membawanya untuk berkunjung ke Rusia pada tahun 2012.
Kunjungan ke Rusia bisa terjadi berkat Prof. Alexander yang mengundangnya untuk memberikan kuliah di Universitas Negeri Moscow.
Dalam kuliah itu, diundang pula orang-orang khusus dan para Cendekiawan Moscow, salah satunya adalah seorang Sarjana Eskatologi Kristen. Mereka menyambutnya dengan sangat ramah.
Para Sarjana dan Cendekiawan itu tidak hanya terkejut, mereka tercengang ketika mengetahui bahwa peristiwa yang paling penting dalam Eskatologi Islam, bukanlah kedatangan Imam al-Mahdi, melainkan kembalinya Mesias Sejati (Nabi Isa AS).
Mereka tidak pernah tahu hal ini, karena Cendekiawan Iran telah datang sebelumnya, dan Syekh Imran harus meminta maaf karena menggunakan kata ini, bahwa Iran telah mencuci otak mereka untuk percaya bahwa kedatangan Imam al-Mahdi jauh lebih penting daripada peristiwa kembalinya Nabi Isa AS.
Karena itu, Rusia tercengang ketika mereka mendengar untuk pertama kalinya, bahwa kembalinya Mesias Sejati, Isa bin Maryam, adalah yang paling penting dalam Eskatologi Islam.
Rusia juga tercengang ketika berbicara tentang akan terjadinya penaklukan Konstantinopel dalam Eskatologi Islam. Mereka tahu tentang hal itu, karena Eskatologi Iran selalu menentang Kekaisaran Turki Ottoman.
Syekh Imran akhirnya sampai pada kesimpulan, bahwa alasan penaklukan Konstantinopel, adalah agar Hagia Sofia dikembalikan ke dunia Kristen Ortodoks.
Deklarasi yang dibuat Syekh Imran di Auditorium Universitas Belgrade itulah yang benar-benar telah mengubah hati, serta memiliki dampak luar biasa di Rusia dan di seluruh dunia Kristen Ortodoks.
Setelah mengalami perjalanan panjang, di usia senjanya saat ini, pada ujung jalan Syekh Imran mengakui masih tetap menjadi sosok penyendiri. Adalah pengalaman yang sepi namun menyakitkan memiliki profil sebagai salah seorang yang berdiri melawan penindasan, terlepas dari harga yang harus dibayar. (https://youtu.be/F_r7DS4w5wU).
Refleksi
Fondasi yang dibangunnya tentang hubungan antara dunia Islam dengan dunia Kristen Ortodoks, adalah salah satu penafsirannya yang brilian atas Surat Ar-Rum dalam Alquran.
Dalam banyak seri kuliahnya yang lain, Syekh Imran menegaskan bahwa Surat Ar-Rum itulah yang menghubungkan antara awal dan akhir zaman, dimana Islam dan pengikut setia Nabi Isa AS yang saat ini diwakili oleh Kristen Ortodoks, telah dan akan menjadi bagian penting dalam panggung sejarah dunia berikutnya.
Dalam konteks inilah, Eskatologi Islam bertemu dengan Eskatologi Kristen, bahwa turunnya kembali Nabi Isa AS kelak, merupakan tema utama guna memahami, kenapa Yerusalem merupakan kunci untuk memahami apa yang terjadi di panggung sejarah dunia.
Itu pula sebabnya kenapa “Yerusalem dalam Alquran” bertahan sebagai buku best-seller sejak pertama diterbitkan 20 tahun yang lalu, sampai hari ini.***
—-
Drs. H. Maman Supriatman, M.Pd
Des 2021 – tinewss dot com
On The Road To Constantinople

Related posts